Senin, 04 Januari 2010

Mobil Baru dan Makna Simbolik

Oleh: L. Bayu Setyatmoko

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mengganti sejumlah mobil pejabat tinggi negara dengan Toyota Crown Royal Saloon 3.000 cc, seharga 1,3 Milyard jauh lebih mahal daripada mobil dinas sebelumnya yang harganya di bawah 1 milyard. Kontan kebijakan ini menuai kritik dari masyarakat yang menganggap pemerintahan SBY tidak peka terhadap kondisi masyarakat yang masih terperosok dalam lembah kemiskinan. Kebijakan ini menjadi sebuah paradok dari komitmen SBY dalam mengawal program penghematan nasional. Kesan yang selama ini banyak muncul dari masyarakat terhadap pemerinatahan SBY yang hanya beretorika dan mengejar citra seolah menjadi terlegitimasi dengan kebijakan pembelian mobil baru ini.

Jika melihat alasan yang dikemukakan oleh Mensesneg terkait dengan pembelian mobil baru ini, bahwa mobil lama yang telah dipakai selama 5 tahun sering masuk bengkel sehingga perlu diganti agar bisa menunjang kinerja para pejabat, jelas jauh dari logika berpikir masyarakat yang semakin kritis. Usia lima tahun untuk sebuah mobil di Indonesia relatif masih baru jika dibandingkan dengan usia rata-rata mobil yang banyak lalu lalang di jalan-jalan di Indonesia.

Jika kita melihat mobil sebagai sarana untuk menunjang mobilitas kerja tentunya usia lima tahun sebuah mobil dengan perawatan yang baik masih cukup mampu untuk menunjang mobilitas kerja. Namun jika mobil dilihat sebagai simbol, status, prestise agar bisa mendapat kehormatan sebagai akibat dari pemakaian mobil yang lebih baru dan mewah, kebijakan regular pembelian mobil baru bagi pejabat tinggi adalah seuatu keharusan.

Pemerintahan SBY tampaknya lebih memilih mobil sebagai sarana penunjang pencitraan untuk memperkuat simbol, status dan kehormatan sebagai seorang pejabat tinggi Negara. Di sini telah terjadi pedegradasian terhadap nilai manfaat atau nilai guna mobil menjadi sekedar sebuah simbolik atau tanda. Simbol atau tanda inilah yang menopang citra-citra yang ditampakkan oleh para pejabat tinggi kita dalam rangka mempertegas status mereka sebagai seorang pejabat. Pembelian mobil ini jelas menafikan kebutuhan dan lebih mengedepankan hasrat kenikmatan, kehormatan, status, prestise dan identitas baru sebagai seorang pejabat tinggi negara. Kebijakan ini telah menunjukkan bahwa Negara telah memberikan contoh kepada rakyatnya agar menjadi masyarakat konsumer. Menurut Baudrillard fungsi utama objek-objek konsumer bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai tanda atau simbol.

Tidak ada komentar: