Senin, 04 Januari 2010

Bendungan Itu Bernama Sekolah

”Apa yang sering dikerjakan oleh pendidikan? Dibendungnya aliran sungai yang bebas dan berkelok-kelok” Henry David Thoreau, 1850.

Gambaran pendidikan yang digambarkan oleh Henry David tersebut sangat cocok dalam melihat sistem pendidikan nasional kita. Kita melihat dan merasakan bagaimana pendidikan yang seharusnya membebaskan justru membendung jalan pembebasan individu dari hak-haknya dalam mengembangkan kreasi-kreasi dan bakat. Kita mungkin tidak pernah tahu sudah berapa banyak kreasi anak-anak sekolah kita yang telah terbendung, berapa banyak bakat mereka yang telah digugurkan, di ruang kelas sekolah-sekolah yang menekankan ”belajar” pada bidang-bidang tertentu saja.

Salah satu bendungan yang sangat dahsyat dan telah mampu meneror sebagian besar anak sekolah kita adalah Ujian Akhir Nasional (UAN). Bulan-bulan terakhir ini, masyarakat kita yang mengalami stress tidak hanya para caleg yang baru saja gagal dalam perebutan kursi sebagai anggota dewan, tetapi juga anak-anak sekolah yang akan dan sedang menghadapi UAN. Betapa tidak stress anak yang rata-rata baru berumur belasan tahun harus dihadapkan pada sebuah pilihan hidup mati dalam menjalani pendidikan di sekolahnya. Meskipun ada pilihan alternatif bagi para anak sekolah untuk memilih program penyetaraan melalui ujian paket A,B, atau C, bagi mereka yang tidak berhasil dalam UAN. Akan tetapi, pilihan yang ditawarkan tersebut bukanlah sebagai sebuah solusi baik terutama jika dikaitkan dampak psikologis yang mungkin muncul dari siswa serta dampak sosial masyarakat kita yang sebagian besar masih memiliki pandangan yang sangat konservatif tentang pendidikan.

Dampak berikutnya dari UAN ini adalah adanya usaha-usaha dari beberapa sekolah yang dianggap favorit untuk tetap mempertahankan kefavoritannya dengan cara meningkatkan standart kelulusan di atas rata-rata nasional. Beberapa waktu yang lalu saya sempat berbincang dengan salah seorang guru di sekolah favorit yang mengatakan bahwa untuk menjaga kefavoritan tersebut, seleksi sudah dimulai sejak anak mulai naik kelas empat. Siswa yang nilainya dianggap kurang untuk standart kelulusan sekolah favorit, siswa tersebut disarankan untuk pindah ke sekolah lain. Kondisi seperti ini tentunya sangat memprihatinkan, di mana dunia pendidikan seolah-olah hanya bisa dinikmati secara penuh bagi anak-anak yang jenius, cerdas dalam menerima materi-materi di sekolah. Sekolah yang seharusnya menjadi lembaga yang menyenangkan karena seharusnya menjadi tempat ekplorasi dan penemuan jati diri anak justru menjadi momok yang menakutkan bagi anak dan orang tua. Momok karena tidak semua anak suka dan mampu dengan model pengajaran yang menekankan ”isi” atau materi, sementara anak yang tidak bisa menerima materi secara baik harus merelakan dirinya untuk untuk siap-siap dieliminasi dari sekolah.

Padahal pendidikan bukanlah sekedar untuk memasukkan materi kepada anak, tetapi yang lebih penting adalah mendorong anak belajar untuk menjadi pembelajar yang mandiri. Pendidikan tidaklah sekedar pendekatan sederhana tentang ”kebenaran dan ”realitas” yang bersifat objektif tetapi pendidikan adalah sebuah proses interpretasi yang kreatif dan aktif dari warga belajarnya. Bagi anak-anak sekolah yang biasa ”dicekoki” dengan beban ”isi” atau materi mungkin akan sangat fasih dalam berbagai mata pelajaran, akan tetapi apakah mereka juga cukup trampil dan kreatif dalam melihat kehidupan? Atau mereka malah apatis dan cenderung pragmatis dalam melihat kehidupan. Jika hal ini yang terjadi, sekolah sebagai agen utama pendidikan telah menanamkan bibit-bibit generasi instant di masa mendatang yang akan sangat membahayakan kehidupan bangsa dan negara. Ini berarti sekolah telah gagal dalam memberdayakan anak-anak bangsa untuk dapat memiliki kapasitas yang mampu secara terus menerus merespon perubahan. Sangat ironis jika keragaman bakat dan kreasi anak dibendung demi sebuah UAN dan citra sekolah favorit.

Fakta menunjukkan bahwa pendidikan kita tidak mampu mempersiapkan generasi yang dapat mengendalikan lingkungan yang berubah. Hal ini bisa dilihat dari melambatnya proses alih teknologi dan alih kelola sumber daya alam Indonesia yang berlimpah ini. Anak-anak yang dulunya dianggap jenius dan cerdas waktu sekolah cukup hanya menjadi buruh bagi perusahaan-perusahaan asing yang jumlahnya ratusan yang saat ini bercongkol di Indonesia. Dengan melihat keadaan Indonesia sekarang kita tidak akan pernah tahu sampai kapan perusahaan-perusahaan asing tersebut bertahan di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Lalu dimanakah kreasi dan bakat anak bangsa yang jumlahnya lebih dari 200 juta ini? Kreasi dan bakat mereka secara sistematis telah ditenggelamkan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah. Pada aspek politik, tranformasi politik yang mampu secara cepat membawa perubahan di bidang sosial dan ekonomi masyarakat belum bisa terwujud, sehingga sampai sekarang bangsa Indonesia masih berkumbang pada masalah kemiskinan yang berlarut-larut. Elit politik cenderung berperilaku pragmatis dalam menghadapi persoalan bangsa yang kompleks karena ini dianggap lebih populis dalam menarik hati rakyat daripadan pikiran-pikiran yang konseptual dan jangka panjang. Belum lagi yang menyangkut mentalitas masyarakat kita yang masih begitu rapuh karakternya dalam mengelola kehidupan. Kasus-kasus amoral, kriminal, bunuh diri, pembunuhan, korupsi, pemerkosaan, stress adalah peristiwa-peristiwa yang setiap hari memenuhi layar media kita.

Dengan melihat fakta seperti ini, pertanyaan akan muncul bagaimana pendidikan kita selama ini? Meskipun fakta di atas sifatnya multifaktorial, secara langsung atau tidak pengaruhnya, kontribusi terbesar dalam menciptakan masa depan bangsa melalui pengembangan kapasitas masyarakat dalam rangka berpartisipasi dalam melakukan alih kelola sumber daya alam dan membentuk karakter bangsa yang kuat adalah pendidikan.



Penulis

L. Bayu Setyatmoko

Education and Training Consultant


Telp. 081393484055

Tidak ada komentar: